Oleh : Khoirul Hafidz Fanani*)
Lahirnya Sekte-sekte dalam Islam
Nabi saw
wafat tanggal 12 rabiul awal tahun 11 H (8 Juni 633 M) hari Senin dan dimakamkan
hari Rabu.Perselisihan di kalangan umat Islam terjadi mengenai seorang pemimpin
yang menjadi pengganti Nabi saw. Kaum
Anshar menginginkan kepemimpinan berada di tangan pemimpin mereka, yaitu Sa'ad
bin Ubadah. Sedangkan kaum Muhajirin menghendaki kepemimpinan berada di tangan
Abu Bakar. Sementara kalangan Bani Hasyim dan Abu Sufyan bin Harb, kepemimpinan
berada di tangan Ali bin Abi Thalib. Namun akhirnya, kekuatan imam para sahabat
Nabi saw tersebut mengalahkan semua
ambisi dan fanatisme kesukuan, sehingga menggiring mereka pada kesepakatan
untuk memilih Abu Bakar al-Shiddiq sebagai Khalifah. Hal itu terjadi dalam
perhelatan politik pertama kaum Muslimin di Saqifah Bani Sa'idah. Abu Bakar
wafat tahun 13 H dalam usia 63 tahun.
Beliau menjadi khalifah selama 2 tahun 3 bulan 3 hari.
Khalifah yang ke dua adalah Umar Bin al-Khattab (w. 23
H). Ketika Abu Bakar sakit, ia mengumpulkan sahabat untuk musyawarah tentang
figur yang akan menggantikannya. Abu Bakar kemudian menunjuk Umar sebagai
penggantinya dengan meminta Utsman bin Affan untuk menuliskan wasiat.
Penunjukan ini, ada sebagian sahabat yang tidak setuju. Namun kemudian Abu
Bakar meyakinkan kepada para sahabat dalm pidatonya: “Jika Tuhan mempertanyakan (penunjukan Umar) di hari kiamat kelak,maka
akau akan menjawab: aku telah menunjuk orang yamg terbaik di antara mereka.”
Umar menjadi khalifah selama 10 tahun, 6 bulan kurang sehari. Ia meninggal
karena dibunuh oleh Abu Lu’lu’ saat berdiri menjadi imam shalat subuh.
Khalifah ke tiga adalah Utsman bin Affan (w. 35 H). Ia
dibai'at berdasarkan hasil rapat tim
formatur yang dibentuk oleh Umar
menjelang wafatnya.[1] Tim formatur tersebut beranggotakan enam orang, yaitu
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi
Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah dan al-Zubair bin al-Awwam. Abdullah bin Umar
hadir dalam beberapa kali sidang tim formatur tersebut untuk memberikan
pendapat tanpa memiliki hak untuk dicalonkan sebagai khalifah dan tidak
memiliki hak suara untuk mendukung salah satu calon. Melalui rapat tim formatur
tersebut, Abdurrahman bin Auf, selaku ketua tim, akhirnya menjatuhkan pilihan
kepada Utsman bin Affan setelah menerima masukan dari kalangan Muhajirin dan
Anshar serta para perwira tentara yang kebetulan pada saat itu menunaikan
ibadah haji bersama Khalifah Umar. Suasana kondusif dan harmonis pemerintahan berjalan sekitar selama 18 tahun sejak
wafatnya Nabi saw, yaitu sejak masa
pemerintahan Abu Bakar, Umar dan 6 tahun pertama dari masa pemerintahan Utsman.[2]
Setelah 6 tahun dari masa pemerintahan Utsman, friksi
internal dan gejolak politik seputar kebijakan-kebijakan Utsman mulai muncul ke
permukaan dan menjadi sasaran kritik sebagian masyarakat. Dalam kondisi
tersebut, unsur-unsur Majusi dan Yahudi ikut bermain dalam mengeruhkan suasana,
sehingga lahirlah berbagai kekacauan dan beragam propaganda dengan membawa
kepentingan menurunkan Khalifah Utsman dari jabatannya melalui gerakan yang
dibungkus dalam kemasan amar ma'ruf dan nahi munkar. Sehingga hal
tersebut berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Utsman di tangan kaum
pemberontak. Utsman menjadi Khalifah selama 12 tahun.
Kemudian khilafah berpindah ke tangan Ali bin Thalib
(w. 40 H), menantu dan sepupu Nabi saw,
serta sebagai sahabat terbaik setelah wafatnya Utsman. Namun, beragam kekacauan
yang terjadi pada masa Utsman, sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Ali bin
Thalib. Pada masa pemerintahan Ali, terjadi perang saudara besar-besaran antara
Ali dengan kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair dalam perang Jamal. Kemudian
terjadi perang Shiffin dengan kelompok Mu'awiyah bin Sufyan, Gubernur Syam pada
masa dua khalifah sebelumnya. Dan akhirnya Ali bin Thalib terbunuh di tangan
Abdurrahman bin Muljam al-Muradi pada tahun 40 H. Kemudian kekhalifahan
berpindah ke tangan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, setelah Sayidina Hasan bin Ali
menyerahkan khilafah kepada Mu'awiyah, untuk melindungi darah kaum Muslimin dan
terciptanya persatuan umat.
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, muncul satu
kelompok dari pengikut Ali, yang memisahkan diri dan kemudian dinamakan dengan
aliran Khawarij. Sejatinya, aliran
Khawarij ini pada awalnya memerankan aliran politik Islam yang sangat radikal. Hanya saja, persoalan politik ini mengalami dinamika dan
berubah menjadi persoalan ideologis. Khawarij berpandangan bahwa seorang
khalifah harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin. Seorang khalifah tidak
harus seseorang yang berasal dari kalangan suku Quraisy saja. Khalifah tidak
boleh memundurkan diri atau melakukan proses arbitrase (tahkim). Mereka
mendefinisikan iman dengan keyakinan yang disertai pengamalan, sehingga
keyakinan tidaklah berguna ketika tidak disertai pengamalan. Oleh karena itu,
Khawarij mengkafirkan pelaku dosa. Berangkat dari pandangan politik mereka yang
ekstrem ini, Khawarij berpandangan bahwa Utsman, Ali, Aisyah, Thalhah, Zubair,
Mu'awiyah dan pengikut mereka dalam perang Jamal dan Shiffin adalah kafir.
Khawarij hanya mengakui Khalifah Abu Bakar dan Umar.3
Pada masa
Sayidina Ali, lahir juga aliran Saba'iyah
dari kalangan Rafidhah (Syi'ah) yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba'. Mereka
berpandangan bahwa Ali adalah Tuhan. Sehingga Sayidina Ali membakar hidup-hidup
sebagian dari mereka, dan mendeportasi sisanya ke daerah Sabath di Madain.[3]
Kemudian ajaran Abdullah bin Saba' ini dilanjutkan oleh golongan Syi'ah yang
terpecah menjadi tiga golongan besar, yaitu Imamiyah, Zaidiyah dan Isma'iliyah.
Sejatinya, ajaran Syi'ah ini berangkat dari persoalan politik, bahwa Ali bin
Abi Thalib dan keturunannya lebih berhak menjadi khalifah dari pada siapa pun
dengan adanya nash dari Nabi saw.
Kelompok Syi'ah yang esktrem seperti Imamiyah dan Isma'iliyah, mengkafirkan
seluruh sahabat Nabi saw kecuali
empat orang.
Setelah
benturan pemikiran antara aliran Syi'ah dan Khawarij semakin keras pasca
terjadinya proses arbitrase (tahkim) antara Ali dan Mu'awiyah, dimana aliran
Khawarij mengkafirkan Utsman, Ali, Mu'awiyah dan orang-orang yang menyetujui
arbitrase, sementara aliran Syi'ah mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Utsman dan
orang-orang yang membela mereka. Dan kedua aliran tersebut juga mengkafirkan
kelompok Bani Umayah dan memandang mereka sebagai kelompok yang jahat. Situasi
tersebut menjadi sebab lahirnya satu kelompok yang enggan mempersoalkan konflik
yang terjadi di kalangan pemimpin umat. Kelompok ini memiliki pandangan yang
khas, dengan satu ide yang jelas, bahwa semua pihak yang bertikai, seperti
Utsman, Ali, Aisyah, Thalhah, Zubair dan Muawiyah sama-sama beriman meskipun
sebagian mereka ada yang salah dan yang lain benar. Menurut kelompok ini,
ketika kita tidak dapat menentukan mana pihak yang salah dan mana yang benar,
maka kita harus mengembalikan persoalan itu kepada Allah. Menurut mereka,
bukankah kelompok yang bertikai itu telah mengucapkan syahadat? Dengan
pandangan ini, kelompok tersebut akhirnya dinamakan aliran Murji'ah (kelompok yang mengembalikan persoalan kepada Allah).
Kemudian kajian mereka mengalami dinamika, hingga memasuki soal-soal keagamaan,
seperti mendefinisikan iman dengan mengetahui Allah dan Rasul-Nya. Kemudian
mereka semakin ekstrem dengan berpandangan bahwa iman itu hanyalah keyakinan
saja, sedangkan amaliah tidak memiliki peran sama sekali dalam iman. Sampai
mereka akhirnya mengeluarkan pernyataan yang sangat populer, la tadhurru
ma'a al-iman ma'shiyatun kama la tanfa'u ma'a al-kufri tha'atun
(kemaksiatan tidak akan membahayakan seseorang selama dia masih beriman,
sebagaimana amal baik tidak akan bermanfaat selama dia masih kafir). Aliran
Murji'ah ini menjadi musnah setelah runtuhnya kekuasaan Bani Umayah.4[4]
Sejatinya, ide aliran Murji'ah ini sangat menguntungkan pihak penguasa, karena
ide aliran ini menjadikan pengikutnya selalu bersikap netral, tidak anti dan
tidak pro penguasa. Oleh karena itu, aliran Murji'ah ini lebih cenderung
menerima kekuasaan Bani Umayah dan Abbasiyah.5 4
Termasuk
kelompok Murji’ah adalah sekte Jabariyah
dan Jahmiyah yang dipimpin oleh Jahm bin Shafwan (w. 128 H/746 M), sekte
Bakriyah yang dipimpin oleh Bakar keponakan Abdul Wahid bin Zaid, dan sekte
Dhirariyah yang dipimpin oleh Dhirar bin Amr al-Kufi (w. 230 H/845 M). Ketiga
sekte ini lahir bersamaan dengan lahirnya sekte Mu’tazilah yang dipimpin oleh
Washil bin ‘Atha’.
Kemudian pada
akhir generasi sahabat, lahir aliran Qadariyah yang membicarakan qada' dan
qadar Allah dan seputar kebebasan manusia (al-jabr wa al-ikhtiyar).
Kelompok ini berpandangan bahwa perbuatan manusia terjadi karena rencananya
sendiri, bukan karena taqdir Tuhan. Kelompok ini dipimpin oleh Ma'bad
al-Juhani, Ghailan al-Dimasyqi dan Ja'ad bin Dirham.5[5]Pandangan
mereka menuai protes keras dari kalangan sahabat yang masih hidup pada saat
itu, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Abi Aufa,
Jabir al-Anshari, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Uqbah bin Amir dan lain-lain –radhiyallahu
'anhum.
Pada masa al-Imam al-Hasan al-Bashri lahir kelompok Mu'tazilah yang dirintis oleh Washil
bin 'Atha' al-Ghazzal (w. 131 H) yang membawa ajaran Qadariyah dan manzilah
baina al-manzilatain (tempat antara dua tempat). Ajaran Washil bin Atha' ini diikuti oleh Amr bin Ubaid
bin Bab. Sehingga kedua orang ini diusir oleh al-Hasan al-Bashri dari
majlisnya. Aliran ini berpandangan bahwa seorang Muslim yang fasik tidak
dikatakan mukmin dan tidak dikatakan kafir, sehingga di akhirat nanti, dia
tidak akan masuk surga dan tidak masuk neraka, melainkan berada di sebuah
tempat antara surga dan neraka. (bersambung)
*)Penulis adalah
Wakil Katib Syuriyah PCNU Kab. Malang
[1]
Al-Hafizh Ibn Hajar, Fath al-Bari (13/193-194).
0 comments:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan Dan Komentar Rekan-Rekanita Sekalian.